Jakarta, CNBC Indonesia – Mendukung Israel dipandang sebagai tugas bersejarah di Jerman, namun krisis yang memburuk di Jalur Gaza telah mendorong para pejabat negara Eropa itu untuk berpikir ulang keberpihakannya.
Beberapa hari setelah Hamas melancarkan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, Kanselir Jerman Olaf Scholz menjadi salah satu pemimpin Barat pertama yang tiba di Tel Aviv.
Saat itu, sambl berdiri di samping Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ia menyatakan bahwa Jerman “hanya mempunyai satu tempat – dan negara itu berada di samping Israel.”
Namun, pekan lalu, ketika serangan mematikan Israel terus berlanjut di Gaza, Scholz kembali berdiri di samping Netanyahu di Tel Aviv, dan menyampaikan pendapat yang berbeda.
“Tidak peduli betapa pentingnya tujuan tersebut, dapatkah hal tersebut membenarkan biaya yang begitu tinggi?” tanya Scholz, seperti dikutip New York Times.
Tak hanya Scholz, para pejabat Jerman juga mulai mempertanyakan apakah dukungan negara mereka terhadap Israel sudah terlalu berlebihan.
Selama ini, dukungan Jerman terhadap Israel yang disebut sebagai “Staatsräson” merupakan cara Berlin untuk menebus Holocaust terhadap orang-orang Yahudi di masa lampau.
“Apa yang berubah bagi Jerman adalah dukungan tanpa syarat terhadap Israel tidak dapat dipertahankan,” kata Thorsten Benner, direktur Institut Kebijakan Publik Global di Berlin. “Dengan berpegang pada gagasan Staatsräson ini, mereka memberikan kesan yang salah bahwa Jerman sebenarnya menawarkan kekuasaan penuh kepada Netanyahu.”
Situasi ini tentu terasa semakin canggung bagi negara pemasok senjata terbesar kedua Israel tersebut, sehingga perubahan sikap Jerman mulai terasa dalam hitungan minggu.
Pada Januari 2024, Jerman melakukan intervensi dalam membela Israel terhadap tuduhan genosida yang dilakukan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional. Laporan tersebut mengutip sejarah Jerman yang memposisikan dirinya sebagai semacam otoritas moral ketika mendukung Konvensi Menentang Genosida, dan membela Israel terhadap kritik yang semakin meningkat terhadap cara mereka menangani perang.
Namun pada Februari 2024, Scholz menolak menjawab pertanyaan di Konferensi Keamanan Munich tentang apakah Israel telah melanggar hukum kemanusiaan internasional.
Meski begitu, pekan ini Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengatakan akan mengirimkan delegasi ke Israel karena sebagai negara penandatangan Konvensi Jenewa. “Negaranya berkewajiban untuk mengingatkan semua pihak akan tugas mereka untuk mematuhi hukum kemanusiaan internasional,” katanya.
Selama kunjungannya ke wilayah tersebut, Baerbock juga menggambarkan situasi di Gaza sebagai “neraka” dan menegaskan bahwa serangan besar-besaran di Rafah, tempat lebih dari satu juta orang mencari perlindungan, tidak boleh terjadi.
“Orang tidak bisa hilang begitu saja,” katanya.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, pun menanggapi kritik Baerbock dalam sebuah pernyataan di media sosial. “Kami berharap teman-teman kami terus mendukung Israel selama masa-masa sulit ini dan tidak melemahkannya dalam melawan organisasi teroris Hamas,” katanya.
Jerman, sama seperti Amerika Serikat (AS), awalnya telah berusaha memposisikan dirinya sebagai teman dan sekutu yang peduli, berniat memastikan keamanan jangka panjang Israel dengan tidak membiarkannya bertindak terlalu jauh sehingga Israel kehilangan lebih banyak dukungan internasional. Namun, akibat risiko yang semakin membesar, Jerman dan AS kini mulai berbalik badan dari Israel terkait serangan mematikannya di Jalur Gaza.
Artikel Selanjutnya
Presiden Prancis Desak Israel Hentikan Serangan di Gaza
(fsd/fsd)