Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah masyarakat Myanmar mendadak mulai memasuki perbatasan antara negaranya dan Thailand, Jumat (12/4/2024) pagi. Pengungsian tersebut terjadi satu hari setelah kota Myawaddy beralih ke tangan perlawanan anti-junta.
Melansir dari Reuters, Sejumlah pengungsi Myanmar mengaku bahwa mereka melarikan diri ke Thailand karena takut dengan serangan udara. Dilaporkan, jumlah warga yang menyebrang ke Mae Sot dari Myawaddy meningkat dua kali lipat minggu ini menjadi sekitar 4.000 orang setiap hari.
“Saya takut dengan serangan udara,” ungkap warga Myawaddy, Moe Moe Thet San yang mengungsi ke Thailand bersama anaknya yang berusia 5 tahun.
“Itu menimbulkan suara yang sangat keras sehingga mengguncang rumah saya. Itulah alasannya saya melarikan diri ke sini karena mereka tidak dapat mengebom Thailand” lanjut ibu berusia 39 tahun itu.
Sementara itu, Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin menegaskan bahwa gejolak di Thailand tidak boleh meluas ke wilayah udara negaranya.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada pekan lalu, Srettha mengatakan bahwa junta Myanmar telah “kehilangan kekuatan” ketika ia mendorong pembukaan pembicaraan dengan rezim tersebut.
Thailand menegaskan bahwa pihaknya tetap netral dalam konflik Myanmar dan dapat menerima hingga 100 ribu orang yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik tersebut. Selain itu, Thailand juga telah mengupayakan keterlibatan, termasuk pengiriman bantuan.
Menteri Luar Negeri Thailand, Parnpree Bahiddha-Nukara dilaporkan akan mengunjungi Mae Sot yang berada tepat di seberang Sungai Moei dari Myawaddy untuk menganalisis masalah setelah junta Myanmar kehilangan lebih banyak wilayah dalam putaran pertempuran terakhir.
Namun, Junta bisa semakin melebar setelah kelompok pemberontak Tentara Arakan memperingatkan bahwa mereka akan melanjutkan serangan di negara bagian Rakhine, Myanmar barat.
Panglima Angkatan Darat Arakan, Twan Mrat Naing memperingatkan penduduk kota Sittwe dan Kyauk Phyu di Rakhine untuk pindah sebelum “pertempuran yang menentukan”.
Salah satu angkatan bersenjata etnis paling kuat di Myanmar, Tentara Arakan adalah bagian dari Operasi 1027, serangan besar-besaran yang dilakukan tiga kelompok pemberontak pada Oktober lalu yang merebut wilayah penting dari junta.
Para analis menyebutkan bahwa “hilangnya” kota Myawaddy membuat pendapatan junta turut “terampas” dari perdagangan perbatasan. Tidak hanya itu, kelompok pemberontak, seperti Karen National Union (KNU) juga semakin menguat.
Juru bicara Junta, Zaw Min Tun mengaku bahwa beberapa pasukannya telah menyerah karena mereka didampingi oleh keluarga dan pembicaraan dengan Thailand untuk pemulangan mereka sedang berlangsung.
Sebagai informasi, Myanmar sedang mengalami kekacauan sejak 2021 lalu, yakni ketika militer yang berkuasa menggulingkan pemerintahan sipil terpilih sehingga memicu protes luas serta kekerasan brutal.
Kemarahan terhadap junta berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata berskala nasional yang kini semakin beroperasi melalui koordinasi dengan kelompok pemberontak etnis untuk menantang militer di sebagian besar negara Asia Tenggara.
Sekitar 200 personel militer Myanmar dilaporkan mundur pada Kamis (11/4/2024) ke sebuah jembatan yang menghubungkan ke Mae Sot setelah KNU mengatakan mereka telah menguasai Myawaddy.
Namun, Profesor Kajian Asia Tenggara di Thammasat University Bangkok, Dulyapak Preecharush menyebutkan bahwa militer Myanmar masih berupaya melakukan serangan balik melalui angkatan udaranya untuk merebut kembali kota tersebut.
“Jadi ada pertanyaan mengenai kemungkinan intensifikasi pertempuran dalam beberapa hari mendatang,” katanya.
Artikel Selanjutnya
Tetangga RI Darurat Pemberontakan, Militer Dibuat Kewalahan
(fsd/fsd)